Minggu, 07 April 2013

Filled Under:

Welcome To Criminal, Kisah Abu Fahd (1~4)

Abu Fahd Negara Tauhid
Fhoto oleh Liam Quinn di flickr.com.
BAGIAN 1 (153 Malam)

Sore itu ana turun dari sebuah angkot di kota Bogor sambil membawa tas punggung (daypack) yang penuh dengan barang belanjaan dan menenteng sebuah dus karton yang juga berisikan barang belanjaan. Kali ini ana berbelanja kebutuhan toko tanpa membawa kendaraan pribadi alias motor, ana lebih suka dengan berjalan kaki atau menaiki kendaraan umum sambil membawa beban berat, hitung-hitung sambil berolah raga agar stamina bisa selalu terjaga. Beban yang ana bawa kali ini lumayan berat sekitar 15 kg di tas dan 10 kg ditentengan, hampir menandingi beban yang ana bawa tatkala mendaki gunung. Namun itu tidak masalah bagi ana karena hal itu sudah menjadi kebiasaan ana, apalagi jika sewaktu-waktu ada panggilan mendadak untuk mendaki gunung ana tidak akan kaget nantinya.

Setelah ana turun dari angkot, ana melihat sebuah bangunan tua yang besar dan penuh misteri. Di depan bangunan tersebut ada keramaian manusia seperti penjual makanan, tukang becak, para pekerja atau petugas, dan orang-orang yang berjalan hilir mudik melewati bangunan tersebut. Ana berhenti sejenak menatapi bangunan itu, seolah-olah seperti terhipnotis akan sebuah pemandangan yang penuh misteri bagi diri ana. Itulah Lapas atau Penjara Paledang yang berdiri di tengah kota Bogor. Sering sekali ana melewati penjara tersebut, karena setiap ana pergi belanja ke Bogor ana selalu melewatinya, hampir setiap pekan sekali. Dan jika ana melihatnya selalu muncul banyak pertanyaan dalam hati ana, seperti apakah suasana di dalam penjara itu? Seperti apakah para penghuni-penghuninya? Apa saja yang dilakukan oleh para penghuninya di dalam penjara itu? Apa yang mereka lakukan hingga mereka bisa masuk ke dalam penjara tersebut? Akankah ana kelak akan merasakan penjara itu? Bagaimana jadinya jika ana masuk ke dalamnya? Apakah orang-orang yang masuk ke dalam penjara itu adalah orang-orang yang bersalah semua? Dan segudang pertanyaan lainnya yang tidak terjawab. Hanya saja ana menyakini bahwa tidak semua orang-orang yang berada di dalam penjara tersebut adalah orang-orang yang bersalah atau penjahat, karena mungkin ada dari mereka yang tidak bersalah atau terfitnah. Pastinya, di dalam penjara tersebut terdapat banyak penjahat-penjahat besar seperti yang kita saksikan di televisi. Suatu tempat yang penuh misteri dan mengerikan bagi ana. Cocok sekali dijadikan sebagai tempat untuk uji nyali bagi orang yang ingin mengetes seberapa besar nyalinya. Namun sangat aneh jika ada orang yang ingin uji nyali malah mendatangi kuburan atau tempat-tempat angker lainnya?! Penjaralah tempat terbaik untuk uji nyali, siapapun orangnya, bahkan penjahat besar sekalipun tidak akan berdaya ketika dia masuk ke dalam penjara, seolah-olah dia berubah menjadi kecil seperti anak kucing.

Ana pun berlalu meninggalkan bangunan tua tersebut, menghapus semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak ana tentang bangunan tersebut. Sambil meninggalkan penjara Paledang, ana berharap semoga ana tidak menjadi penghuninya di suatu saat kelak. Ana tinggalkan penjara itu sambil menuju ke stasiun Bogor, karena jarak antara penjara Paledang dengan stasiun Bogor sangat berdekatan sekali. Tidak lama ana pun sampai di stasiun Bogor dan kembali pulang menuju rumah dengan menaiki kereta api tujuan Bojonggede. Pikiran ana tentang penjara itu hilang seketika terhapus kesibukan ana. Hingga akhirnya Allah menakdirkan ana dengan sebuah musibah yang membuat ana harus bermalam di dalam penjara selama 153 malam atau 5 bulan.

Rupanya apa yang pernah ana tanyakan di dalam benak ana tentang penjara terjawab semua. Pertanyaan-pertanyaan ana semuanya dijawab oleh ana sendiri. Terasa seperti mimpi musibah yang ana alami. Karena ana tidak menyangka sama sekali akan merasakan kehidupan di dalam penjara tersebut selama beberapa bulan, kehidupan yang belum pernah alami, kehidupan yang tidak terduga sebelumnya, apa yang ana khawatirkan rupanya terjadi juga. 153 malam adalah waktu yang tidak sebentar dan penuh cerita serta pengalaman yang panjang. Pada kesempatan ini ana berusaha untuk berbagi cerita dan pengalaman selama ana di penjara. Sebenarnya ana agak kesulitan untuk menceritakan pengalaman ana ini, namun dikarenakan banyaknya desakan dari teman-teman agar ana mau menceritakan dan berbagi pengalaman, maka ana akan berusaha untuk sedikit berbagi pengalaman ana selama di penjara, dan semoga saja ada hikmah dan pelajaran dari pengalaman ana ini untuk kita semua, insya Allah. Di cerita ini ana tidak akan membahas kasus yang ana alami, yang ana bahas disini hanya seputar pengalaman ana selama di penjara. Jika ada dari teman-teman yang belum tahu tentang kasus yang ana alami, silahkan cari sendiri di internet (khususnya google), disana banyak berita tentang kasus yang ana alami, cukup ketik kata kunci di google: “Abu Fahd”, niscaya akan mendapatkan berita tentang kasus yang ana alami.

Bersambung insya Allah….





BAGIAN 2 (Welcome to Criminal)

Hari itu ana resmi ditahan di sebuah Rutan (Rumah Tahanan) di salah satu Polres. Ana terjerat kasus pencemaran nama baik seorang Habib dan Undang-undang ITE. Setelah ana selesai menandatangani Surat Penahanan, ana pun dibawa oleh salah seorang penyidik (polisi) menuju kamar tahanan yang tidak jauh dari ruangan tempat ana diproses. Berat langkah ana menuju kamar tahanan tersebut, sedangkan hati saat itu terasa berdebar-debar karena sesaat lagi ana akan merasakan suatu kehidupan yang belum pernah ana rasakan seumur hidup ana, kehidupan yang dapat merubah segalanya, kehidupan yang hanya ada di angan-angan, namun sesaat lagi akan menjadi kenyataan. Adapun keluarga ana, yaitu istri, orangtua dan kedua anak ana yang masih kecil tampak sedih mengiringi langkah ana menuju kamar tahanan itu. Ana berusaha untuk tenang dan tidak menampakan kesedihan agar keluarga ana tidak semakin larut dalam kesedihannya. Ana tidak membawa apapun ke ruang tahanan, yang ana bawa hanya pakaian yang menempel di badan.

Akhirnya sampailah ana di depan kamar tahanan. Kamar tahanan itu dijaga oleh beberapa petugas polisi. Penyidik yang membawa ana memberikan surat penahanan kepada petugas tersebut. Setelah itu sang petugas memberitahukan kepada ana tentang segala peraturan di dalam kamar tahanan, diantaranya adalah pakaian yang boleh dibawa masuk maksimal 2 stel yaitu 1 stel yang menempel di badan dan 1 stel yang disimpan, tidak boleh memakai baju lengan panjang dan celana panjang (termasuk sarung), jadi wajib memakai celana pendek, dilarang memiliki uang, alat komunikasi (termasuk hp), merokok, memakai alas kaki, senjata tajam atau yang dapat melukai (seperti besi, pecah belah), berkelahi, dsb. Petugas menyuruh membuka jaket dan celana panjang yang ana kenakan sekaligus memeriksa seluruh badan ana. Ana katakan kepada petugas, “Bagaimana saya shalatnya pak?” Petugas menjawab, “Kamu pakai celana pendek, ini peraturan dan darurat, kalau kamu tidak punya celana pendek maka celana panjang kamu akan saya gunting jadi celana pendek!” “Baik pak, saya punya celana pendek…” jawab ana, untung saja ana memakai celana pendek untuk dalaman yang panjangnya dibawah lutut, sehingga ana masih bisa menutupi paha dan lutut ana. Tinggallah kaos dan celana pendek yang ana miliki saat itu sebagai bekal selama ana di dalam tahanan. Ana sudah tidak peduli lagi terhadap apa yang ana miliki, yang ana pedulikan saat itu adalah keselamatan untuk diri ana dan keluarga ana yang ditinggalkan. Selama ini ana hanya mendengar tentang cerita atau pengalaman orang yang masuk penjara berupa cerita-cerita yang menakutkan dan menyedihkan, cerita yang tidak jauh dari penindasan dan pemerasan. Akankah hal itu ana alami sesaat lagi?

Petugas mengantar ana sampai ke depan pintu kamar tahanan, pintu yang terbuat dari jeruji besi yang tergembok besar. Petugas membuka pintu itu dan menyuruh ana masuk ke dalamnya. Ana pun memasukinya dan pintu itu ditutup kembali. Ana telah pasrah terhadap apa yang akan terjadi pada diri ana nanti. Ana sekarang sudah berada di dalam sebuah kehidupan yang selama ini hanya angan-angan dan hanya ana lihat di media atau film saja. Ana akan hidup bersama para penjahat-penjahat dan tinggal bersama mereka entah sampai kapan, padahal selama ini ana selalu menjauhi dan membenci perbuatan mereka. Suasana mulai terasa menyeramkan dan menegangkan. Ana langkahkan kaki ini pelan-pelan untuk masuk ke dalam kamar tahanan itu. Masih berupa lorong yang panjangnya hanya beberapa meter saja. Rupanya masih ada pintu jeruji besi lagi yang harus ana masuki di dalam lorong itu untuk menuju ke dalam kamar tahanan. Ana pun menghampiri pintu itu untuk mengetahui isi dibalik pintu tersebut.

Ketika ana mendekati pintu tersebut, rupanya dibalik pintu itu sudah dipenuhi oleh para tahanan yang telah menanti kedatangan ana. Jumlah mereka sangat banyak, ada sekitar 50 orang lebih. Mereka memenuhi disetiap sisi untuk melihat dan menyambut kehadiran ana. Ana melihat wajah-wajah mereka sangat menyeramkan, ....... Mereka memasang wajah yang sedang marah dan menakut-nakuti, sama sekali tidak ada kesan ramah, apalagi senyuman. Mata-mata mereka melotot menatapi ana seolah-olah ana adalah santapan mereka. Ditambah lagi hal yang sangat menegangkan adalah, mereka semua mengeluarkan suara-suara teriakan dan kata-kata kotor atau umpatan, seolah-olah mereka akan mengeksekusi ana. Seperti masuk ke dalam kandang binatang buas, atau hutan belantara, bahkan menurut ana ini lebih menyeramkan dari hutan belantara. Ana sudah terbiasa masuk ke dalam hutan belantara dalam segala kondisi, ketika malam hari, hujan deras, sendirian, dan lainnya, tapi tidak menyeramkan seperti ana masuk ke dalam kamar tahanan ini. Suasana saat itu begitu berisik karena teriakan-teriakan mereka yang menakut-nakuti ana, juga mengumpat atau mencela ana dengan kata-kata kotor dan penghinaan. Sekilas ana perhatikan wajah-wajah mereka, terlihat wajah-wajah yang tidak bersahabat, terkesan angker, gelap (tidak bercahaya). Kebanyakan dari mereka tubuh-tubuhnya dipenuhi oleh tatto, dari badan, tangan maupun kaki, bahkan ada yang seluruh tubuh (kecuali wajah). Karena tatto bagi mereka (narapidana atau penjahat) adalah hal yang biasa, sebagian mereka menganggap tatto adalah karya seni, dan sebagian lagi menganggap tatto agar berkesan macho atau seram. Tubuh mereka juga besar-besar, banyak yang lebih besar tubuhnya dari ana, layak seperti seorang preman atau bodyguard, atau memang mereka preman asli.

Kejadian ini benar-benar menguji nyali ana. Baru kali ini ana berhadapan dengan para narapidana atau penjahat. Dalam pikiran ana hanya ada dua opsi, yaitu: Pertama, melawan mereka dengan resiko ana bakalan babak belur oleh mereka karena perbandingannya adalah satu banding lima puluh, itu adalah opsi yang konyol menurut ana, walaupun opsi ini terkesan menantang dan lebih berani. Opsi kedua, yaitu tunduk mengalah dan mengikuti mereka demi keselamatan. Opsi ini menurut ana terlalu memalukan bagi seorang laki-laki yang punya harga diri, kenapa harus tunduk kepada orang-orang zhalim seperti mereka?! Namun apa daya saat itu ana tidak memiliki kemampuan memilih opsi yang pertama. Apakah ada opsi yang lain? Opsi ketiga adakah? Opsi ketiga adalah kabur dari mereka. Opsi ini sangat mustahil dilakukan. Bagaimana caranya agar bisa kabur dari mereka? Tidak ada jalan untuk melarikan diri dari mereka, semua tertutup oleh tembok dan jeruji besi. Ana pun mencoba untuk mencari opsi yang lain, yaitu opsi yang keempat, perpaduan antara opsi pertama dengan opsi kedua, yaitu mengalah dan mengikuti mereka selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat, seandainya mereka menyuruh ana untuk berbuat maksiat, maka ana lihat sesuai kemampuan ana, semoga saja ana mampu menghadapi dan melawan mereka, insya Allah. Tidak lupa juga lisan ana tidak berhenti dari berdzikir kepada Allah agar Allah memberikan perlindungan ke ana.

Kini ana telah berada ditengah-tengah mereka, dan mereka semuanya mengerumuni ana. Ana ucapkan kepada mereka “Assalamu alaikum”, sebagian mereka ada yang menjawab salam ana. Beberapa orang dari mereka membentak ana “Jongkok loe!!…Ayo jongkok!!”. Ana pun mengikuti perintah mereka untuk jongkok. Kemudian mereka menyuruh ana jalan sambil jongkok menuju kamar yang akan ana tempati. Ana pun jalan sambil jongkok melewati mereka menuju kamar. Sambil melewati ana mencoba untuk bersalaman dengan mereka. Sebagian dari mereka ada yang mau bersalaman dengan ana, dan sebagian yang lain menolak bersalaman dengan ana, bahkan mereka membentak “Udah jalan sana!!!” Benar-benar ana dihinakan di hadapan mereka. Namun sampai saat itu belum ada yang ‘mencolek’ ana. Sambil jalan jongkok, ana melewati mereka satu persatu, mereka tidak henti-hentinya membentak ana, ana hanya mampu melihat kebawah dan tidak melihat wajah mereka (khususnya mata) karena itu sama saja menantang mereka. Disebuah dinding ana lihat sebuah coretan tangan yang tertulis “Welcome to Criminal”.

Sampailah ana di dalam kamar yang akan ana tempati. Sebuah kamar yang tidak begitu luas, hanya berukuran sekitar 5m x 3m, berisikan sekitar 15 sd 20 orang tahanan. Di Rutan yang ana tempati terdapat 4 kamar tahanan, masing-masing kamar diisi 15 sd 20 orang tahanan dari segala macam kejahatan. Sedangkan ana menempati kamar no.3. Ketika ana masuk ke dalam kamar tersebut, ana lihat beberapa orang tahanan yang sedang melakukan aktivitas masing-masing, diantaranya ada yang sedang memijat seseorang layaknya seorang boss (dan itulah kepala kamarnya atau KM), ada juga yang sedang jadi kipas atau baling-baling dengan berdiri sambil mengibaskan sepotong kain seperti baling-baling agar kamar tidak panas, ada juga beberapa orang yang duduk jongkok disudut kamar layaknya seorang yang dihukum, dan yang lainnya mengelilingi ana. Setelah itu ana dihadapkan ke KM (Kepala Kamar) untuk diintrogasi. Beberapa tahanan yang senior menemani KM mengintrogasi ana. Mereka mengintrogasi ana dengan kasar, namun tidak sampai memukul. Mereka menanyakan semuanya tentang ana, dari indentitas sampai kasus yang ana alami. Hingga mereka semua tahu tentang jati diri ana dan kasus yang ana alami yaitu pencemaran nama baik seorang Habib. Biasanya setiap tahanan yang masuk dan diintrogasi akan mengalami penindasan dari penghuni kamar, namun Alhamdulillah sampai sejauh ini belum ada seorang pun yang memukul ana.

Salah seorang dari mereka menyuruh ana untuk membuka baju/kaos yang ana pakai. Awalnya ana keberatan untuk membuka baju ana, dan ana memberanikan diri untuk menolak perintah mereka khawatir ana akan dizhalimi oleh mereka jika ana membuka baju. Tapi mereka tetap memaksa ana untuk membuka baju, dan ana tetap bersikap untuk menolaknya, apalagi itu hanya satu-satunya baju yang ana miliki saat ini. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Kami mau lihat loe ada tattonya apa tidak!” Rupanya itu alasan mereka kenapa mereka menyuruh ana membuka baju. Ana pun akhirnya bersedia membuka baju, dan ana perlihatkan badan ana ke mereka kalau ana tidak memiliki tatto, kemungkinan jika ana memiliki tatto akan ada hadiah dari mereka untuk ana berupa “bogem mentah”. Mereka pun percaya kalau ana tidak memiliki tatto, tapi mereka malah mengambil kaos ana, padahal kaos tersebut adalah kaos yang ana sukai yaitu kaos dari komunitas pecinta alam. Ana tanya kenapa kaos ana diambil? Mereka menjawab, kaos tersebut mau dicuci dulu (dikira mereka kaos itu kotor) dan mereka memberikan kaos yang lain ke ana untuk dipakai. Tidak masalah bagi ana, ana pun memakai kaos pemberian mereka.

Selang beberapa menit kemudian, masuk “Kijang Baru” (Tahanan Baru) ke dalam kamar kami, dia terkena kasus Narkoba. Tidak beda dengan apa yang ana alami tatkala dia masuk ke dalam kamar tahanan, disuruh jalan jongkok, dibentak-bentak, diintrogasi, dll. Kijang Baru itu ditempatkan di sebelah ana dengan posisi jongkok di lantai. Kemudian KM menyuruh ana untuk pergi atau pindah ke ruangan lain, dan membiarkan kijang Baru itu berada di tempatnya. Tidak tahu apa maksud mereka menyuruh ana pindah ke ruangan lain, tapi untuk sementara ana ikuti kemauan mereka. Setelah ana berada di ruangan yang lain, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras seperti suara pukulan, berulang-ulang suara pukulan itu terdengar. Ana menyangka bahwa Kijang Baru itu sedang ‘Disekolahkan’ oleh mereka. Setelah selesai mereka menyekolahkan Kijang baru itu, ana pun disuruh kembali ke kamar semula. Ketika ana masuk ke dalam kamar, ana lihat Kijang Baru itu sedang terkapar di lantai kesakitan akibat ‘Disekolahkan’ oleh mereka. Ana merasa iba melihatnya, tapi inilah penjara. Ana bersyukur kalau ana tidak mengalami kejadian itu, Alhamdulillah.

Tidak beberapa lama masuk waktu shalat maghrib. Serentak para tahanan mempersiapkan diri untuk shalat maghrib, dan ada juga beberapa dari mereka yang tidak shalat karena malas. Shalat maghrib kala itu diimami oleh seorang ustadz yang disegani di Rutan ini, sesama tahanan juga. Dia lah ustadz yang terkena kasus menikahi wanita dibawah umur dan tanpa wali, pesantren yang dia miliki pernah dibakar oleh massa, inisialnya adalah ust.FA. Posisi ana shalat berada di shaf pertama tepat dibelakangnya imam. Setelah shalat seperti biasa sang imam melakukan amalan-amalan yang biasa dilakukan oleh kebanyakan masyarakat di kita, yaitu dzikir jama’i, doa jama’i, dan salam-salaman. Dikarenakan ana tidak melakukan amalan-amalan seperti itu, maka ana cukup mengamalkan apa yang ana amalkan sendiri. Rupanya diam-diam sang imam memperhatikan apa yang ana lakukan, dan dia merasa kecewa kalau ana tidak mengikutinya. Setelah selesai, sang imam atau ust. FA menegur ana kenapa ana tidak mengikutinya? Ana katakan bahwa ana hanya mengamalkan apa yang ana tahu dalilnya dan biasa ana amalkan. Mendengar jawaban seperti itu ust.FA marah dan berkata, “Biasanya yang tidak mau dzkir mengeraskan suara dan jama’i, tidak mau berdoa mengangkat tangan, dll itu adalah aliran Wahhabi, aliran Salafi, sesat!!!” Ana kaget mendengar ucapan ust.FA. Dia pun berkata lagi dengan suara keras dan marah di depan seluruh jamaah atau tahanan, “Saya tahu kasus yang kamu lakukan. Kamu telah menghina Habib Fulan! Dia itu ulama, keturunan Nabi! Kamu jangan berdusta di tempat ini yang membuat kamu akan semakin bermasalah… Sekarang kamu mau tahu, kalau saya adalah murid dari Habib Fulan yang kamu cemarkan!!! Berarti kamu juga telah menghina guru saya!!” Ust. Fulan terus memprovokasi jama’ahnya dan memfitnah ana, sehingga suasana saat itu semakin ramai. Seluruh tahanan berdatangan mendatangi kami menyaksikan apa yang sedang terjadi, dan mereka semuanya mengelilingi ana. Ana saat itu tidak mampu bertindak dan hanya mendengarkan ucapan ust.FA yang terus memprovokasi jama’ah sehingga semua tahanan menjadi marah dan mendukung ust.FA. Suasana semakin gaduh dan ramai, suara-suara teriakan mulai terdengar seperti kejadian ketika ana masuk tahanan. Para tahanan sudah sangat emosi dan marah terhadap ana, mereka berteriak-teriak ingin menghabisi ana. “Ayo hajar saja!…Bunuh saja! Awas ini aliran sesat! Cepat habisi orang ini!!!” dan ucapan-ucapan lainnya. Kondisi ana semakin tegang, ana pasrah terhadap apa yang akan terjadi pada diri ana. Puluhan orang tahanan siap menyantap ana pada saat itu. Hanya kepada Allah saja ana berlindung dan meminta pertolongan kala itu…

Ibarat keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Selamat dari level pertama di dalam kamar tahanan, sekarang masuk ke level kedua, akankah ana selamat pada saat itu? Ana tidak menyangka akan bertemu salah seorang dari murid Habib Fulan yang ana cemarkan di dalam tahanan ini. Apalagi ustadz tersebut memiliki sifat yang arogan dan memanfaatkan kondisi yang mendukung. Ana tidak menyangka setega itu dia bersikap terhadap ana. Ust.FA adalah orang yang disegani oleh para tahanan, sehingga jika dia meminta sesuatu kepada salah seorang tahanan akan dituruti dan ditaati. Sekarang dia siap untuk menghabisi ana dengan fitnahnya dan kezhalimannya. Dan semua tahanan mendukung ustadz tersebut…

Kondisi semakin parah, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Waktu berjalan tidak sesuai dengan apa yang ana inginkan. Ana tinggal menunggu detik-detik penghabisan…pasrah terhadap kejadian ini…tidak ada yang dapat menolong ana saat itu kecuali Allah Azza wa Jalla…akankah nasib ana akan seperti Kijang Baru itu yang terkapar kesakitan?

Bersambung, insya Allah…





BAGIAN 3 (Malam Pertama di Bui)

Kondisi semakin parah, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Waktu berjalan tidak sesuai dengan apa yang ana inginkan. Ana tinggal menunggu detik-detik penghabisan…pasrah terhadap kejadian ini…tidak ada yang dapat menolong ana saat itu kecuali Allah Azza wa Jalla…akankah nasib ana akan seperti Kijang Baru itu yang terkapar kesakitan?Adapun ust.FA seperti sudah diatas angin, dia telah berhasil memprovokasi para tahanan dengan fitnah-fitnahnya, sehingga para tahanan semakin membenci ana. Dia bahas segala perbedaan-perbedaan pemahaman dan amalan agar semakin memperkeruh suasana, selain itu juga dia sebarkan fitnah-fitnah terhadap pemahaman ana yang dituduh sebagai Wahhabi agar manusia menjauhi pemahaman tersebut dan menganggapnya sebagai pemahaman sesat dan menyesatkan. Ana masih banyak diam di hadapannya, karena bukan waktu yang tepat untuk berdebat dengannya saat ini. Padahal dia selalu memancing-mancing perdebatan agar kami saling berdebat dan disaksikan oleh seluruh tahanan, namun ana berusaha menghindari perdebatan dengannya dengan mengalihkan pembicaraan. Tapi tetap saja ust.FA tidak mau menyudahi orasinya.

Suasana di dalam tahanan semakin heboh oleh teriakan-teriakan penghuni tahanan. Terus terang ana merasa kasihan kepada para tahanan di dalam, mereka sangat awam terhadap agamanya sehingga mudah sekali dibodoh-bodohi dan diprovokasi oleh seseorang. Seandainya mereka dibimbing oleh seseorang yang bersih aqidahnya, maka betapa beruntungnya mereka, namun sayangnya mereka malah dibimbing oleh seseorang yang memusuhi sunnah dan banyak melakukan kebid’ahan, sehingga mereka malah semakin jauh dari agamanya.

Ana memperhatikan wajah-wajah mereka, semuanya terlihat marah dan tidak bersahabat. Ana berharap diantara mereka ada satu orang yang mau membela ana, atau mau memperlihatkan senyuman ke ana sebagai tanda persahabatan. Namun ana tidak menemukannya sama sekali. Ana menyangka telah salah masuk kamar. Atau berharap apa yang ana alami saat ini adalah mimpi, namun ana tidak mampu untuk terjaga dari mimpi ini. Akhirnya ana akui kalau kejadian ini adalah sebuah kenyataan yang harus ana hadapi. Ana pun menyadari bahwa ini adalah salah satu dari takdir yang telah Allah tetapkan untuk ana. Dan ana harus mampu melaluinya, walaupun hanya sendirian. Ana teringat sebuah kalimat yang berbunyi: “Hasbunallah wa ni’mal wakiil” (Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung). Kata sahabat Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa “hasbunallah wa ni’mal wakiil” adalah perkataan Nabi ‘Ibrahim ‘alaihis salaam ketika beliau ingin dilempar di api. Sedangkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kalimat tersebut dalam ayat,



إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. (HR. Bukhari no. 4563).

Disaat kondisi semakin panas, tiba-tiba masuk seorang petugas lengkap dengan pakaian dinasnya ke dalam kamar tahanan. Petugas tersebut masuk karena ingin tahu apa yang sedang terjadi di dalam, sekaligus mengantisipasi dari hal-hal yang tidak diinginkan. Petugas itu menyaksikan apa yang sedang kami lakukan. Ana sedikit merasa lega akan kehadiran petugas tersebut, semoga dengan datangnya petugas tersebut keadaan menjadi kondusif, dan ana bisa terlindungi. Namun lagi-lagi keadaan tidak sesuai dengan yang ana harapkan. Apakah yang terjadi kemudian? Petugas tersebut malah mendukung ust.FA!!… Bahkan petugas tersebut ikut-ikutan mencela dan menyalahkan ana. Benar-benar ana semakin terpojokan di dalam kamar tahanan ini. Adapun ust.FA malah semakin senang karena mendapat dukungan dari petugas. Akhirnya ust.FA memanfaatkan kondisi seperti ini untuk mengajak debat dan menelanjangi pemikiran ana. Dalam perdebatan, ust.FA banyak mengeluarkan dalil-dalil yang dihafalnya, beliau pun fasih dalam berbahasa Arab, mahir dalam berceramah dan memiliki banyak massa. Keadaan seperti inilah yang akhirnya memaksa ana untuk ber’Tauriyah’. Tauriyah adalah keinginan seseorang dengan ucapannya yang berbeda dengan zhahir ucapannya. Hukumnya boleh dengan dua syarat: pertama, kata tersebut memberikan kemungkinan makna yang dimaksud. Kedua, bukan untuk perbuatan zhalim. Ana melakukan ‘Tauriyah’ ketika ust.FA bertanya ke ana, “Kamu dari golongan Islam yang mana?” Sebelum ana menjawab, ana berpikir terlebih dahulu, agar jawaban ana tidak semakin mencelakakan ana dan tidak menambah fitnah atas ana. Akhirnya ana pun menjawab, “Saya Muhammadiyah.” Maksudnya adalah pengikut Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dan bukan organisasi Muhammadiyah yang didirikan oleh KH.Ahmad Dahlan. Ana mengatakan bahwa ana adalah Muhammadiyah agar orang-orang memahami bahwa ana dari organisasi Muhammadiyah, suatu ormas yang diakui di negara ini dan tidak tergolong aliran sesat dalam perspektif mereka. Padahal yang ana maksud dari Muhammadiyah adalah pengikut Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, seperti halnya makna Salafiyah (pengikut Salafush Shalih), Syafi’iyyah (pengikut madzhab Imam Syafi’i), dan semisalnya.

Tauriyah seperti itu ana lakukan agar tidak menambah fitnah atas diri ana, yang mana kejadian itu disaksikan oleh orang-orang yang sangat awam dalam agama. Mereka hanya mengetahui bahwasanya Islam itu hanya ada dua, yaitu islam dari golongan NU (Nahdhatul Ulama) dan islam dari golongan Muhammadiyah, selain itu tidak ada atau sesat. Seandainya ana menjawab diluar itu, niscaya mereka akan semakin membenarkan perkataan ust.FA bahwasanya ana adalah dari golongan yang sesat. Inilah kenyataan yang terjadi, yang mana mereka masih sangat miskin ilmu, dan ana tidak mau mereka malah menjauhi ana karena menganggap ana sesat, sedangkan ana berusaha untuk mendekati mereka agar bisa mendakwahinya. Masalah tauriyah juga pernah dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebelum terjadinya perang Badar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ditemani Abu Bakar ash-Shiddiq melakukan patroli di seputar kamp militer pasukan Makkah, tiba-tiba beliau bertemu dengan seorang laki-laki tua dari bangsa Arab, beliau bertanya kepadanya tentang orang-orang Qauraisy, Muhammad dan para sahabatnya. Beliau sengaja bertanya tentang orang-orang Quraisy dan dirinya sendiri untuk mengantisipasi munculnya kecurigaan dari laki-laki tua ini. Laki-laki tua berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun kepada kalian berdua sebelum kalian mengatakan kepadaku dari kabilah mana kalian berdua.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Setelah bapak memberitahu kami maka kami akan memberitahu bapak.” Laki-laki tua menegaskan, “Begitu?” Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya.” Pak tua berkata, “Aku mendengar bahwa Muhammad dan para sahabatnya keluar pada hari ini dan itu, jika apa yang aku dengar ini benar maka dia dan para sahabatnya ada di tempat ini dan itu. –Tempat di mana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bermarkas-. Dan aku juga mendengar bahwa orang-orang Quraisy keluar pada hari ini dan itu, jika apa yang aku dengar ini benar, maka mereka hari ini berada di tempat ini dan itu. –Dia menyebutkan tempat di mana pasukan Makkah berada.” Setelah itu pak tua ini balik bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Dari kelompok mana kalian berdua?” Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kami dari maa` (air).” Kemudian beliau meninggalkan pak tua yang bergumam, “Dari maa` apa? Apakah dari maa` (mata air) Irak?Tauriyahnya terletak pada jawaban Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Kami dari maa`.” Kata ini berarti air dan penggunaannya dalam konteks ini untuk makna ini adalah penggunaan yang jauh tetapi inilah yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maksud beliau, kami dari maa` yakni kami manusia yang berasal-usul dari air (mani) bapak kami. Sementara laki-laki tua ini tidak memahami makna ini, dia memahami maa` adalah sebuah mata air atau suku di Irak. Padahal ini bukan yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Semoga saja dengan tauriyah yang ana lakukan bisa menyelamatkan ana dari gangguan mereka dengan izin Allah. Alhamdulillah dengan menisbatkan kepada Muhammadiyah, ana lebih mudah menangkis dan membantah ucapan ust.FA. Ana katakan, jika Muhammadiyah itu sesat, niscaya Muhammadiyah sudah dilarang di negara ini, namun kenyataannya Muhammadiyah diakui di negara ini, bahkan banyak dari orang-orang Muhammadiyah yang duduk di MUI. Adapun masalah perbedaan-perbedaan kenapa harus diperbesarkan? (ana mencoba mencari senjata makan tuan). Ust.FA ada menyebutkan hadits “Perbedaan dikalangan umatku adalah rahmat” (adapun ini adalah hadits palsu), beliau memakai hadits tersebut untuk mencela ana karena suka membesar-besarkan masalah perbedaan tentang tawassul atau ziarah kubur, padahal dia sendiri juga membesar-besarkan masalah perbedaan yang ana lakukan, seperti menyalahkan ana yang tidak ikut berdzikir dan berdoa berjama’ah, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Selain itu, kenapa hanya ana yang disalahkan karena tidak ikut berdzikir dan berdoa berjama’ah bersamanya, sedangkan orang-orang yang tidak ikut shalat maghrib berjama’ah bersamanya, bahkan tidak shalat sama sekali tidak disalahkan olehnya? Sebagian juga ada yang setelah shalat langsung pergi meninggalkan jama’ah, namun kenapa tidak disalahkan? Sedangkan ana disalahkan dan dicela hanya karena ana tidak ikut berdzikir dan berdoa bersamanya?!

Di akhir pembahasan ana mulai berargumen sesuai dengan logika mereka, agar mereka bisa memahami apa yang ana maksudkan. Mereka mulai mendengarkan penjelasan dari ana. Suasana sudah tidak seperti awal lagi, karena sudah mulai kondusif. Namun sayang, kejadian tersebut tiba-tiba terhenti oleh masuknya waktu Isya’. Tidak terasa satu jam sudah eksekusi yang membuat ana tegang. Ana pun bisa menghirup nafas kembali. Acara perdebatan pun berakhir dan orang-orang membubarkan diri, termasuk petugas itu. Sebagian dari mereka bersiap-siap untuk melaksanakan shalat Isya berjama’ah dengan memakai celana pendek dan baju seadanya, begitu juga dengan ana. Pemandangan yang belum pernah ana jumpai sebelumnya, shalat berjama’ah dengan celana pendek, bahkan banyak pula yang celananya sangat seksi yaitu terlihat paha atau auratnya. Shalat Isya itu adalah shalat ana yang kedua kalinya di bui. Dan yang mengimami jama’ah adalah ust.FA karena beliaulah imam rawatib disini.

Setelah kejadian tersebut, ana langsung dikenal dikalangan para tahanan. Setiap ana melewati seseorang, mereka menegur ana “Bang Abu”, begitu juga sebaliknya. Ada juga yang memberi senyuman ke ana, bahkan banyak yang antusias untuk mengobrol dengan ana. Sebagian memanggil ana dengan sebutan ‘Ustadz’, tapi langsung ana cegah dan klarifikasi bahwa ana bukan ustadz. Wajah-wajah mereka mulai berubah tidak seperti sebelumnya, sekarang mulai terlihat bersahabat dan ramah. Mulailah saat itu kami saling berkenalan dan mencoba untuk berkawan. Malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi ana sekaligus malam pertama di bui, dan akan ana habiskan untuk menyesuaikan diri dengan para tahanan.

Setelah shalat Isya’, jadwalnya kami untuk makan malam. Setiap makan kami berkumpul atau berjama’ah di kamar masing-masing. Penghuni kamar nomor tiga (kamar tempat ana tinggal) semuanya berkumpul tatkala makan. Kami membuat lingkaran dengan posisi duduk dilantai. Setelah itu makan malam pun dibagi-bagikan, masing-masing mendapat jatah satu box nasi lengkap dengan lauk dan sayurnya. Ana penasaran ingin tahu seperti apa makanan penjara itu, karena selama ini ana hanya mendengar dari kabar berita saja dan belum pernah melihatnya secara langsung. Dan sesaat lagi, ana akan melihat seperti apa makanan penjara itu…makanan yang belum pernah ana rasakan…makanan yang akan membuat ana terkejut melihatnya…

Bersambung -Insya Allah-





BAGIAN 4 (Nasi Cadong)

Malam ini merupakan makan malam pertama ana di bui. Semuanya berkumpul duduk di lantai membuat lingkaran dan saling berhadap-hadapan. Agak tegang rasanya menunggu makan malam kami dibagikan. Ingin segera tahu seperti apa makanan penjara itu, karena selama ini ana hanya mengetahui dari beberapa sumber dan belum melihat langsung. Namun sesaat lagi ana akan melihatnya bahkan akan merasakannya, seperti apa makanan penjara itu yang kata orang ‘menyeramkan’ seperti tempatnya? Tidak lama datang pelayan kamar membawakan beberapa box makanan untuk kami. Setiap orang mendapat jatah 1 box makanan yang isinya terdiri dari nasi, lauk dan sayur. Setelah dibagi-bagikan box makanan tersebut, ana pun melihat isinya, apakah menu makan malam yang akan ana santap? Setelah ana melihatnya, rupanya menunya biasa saja menurut ana, tidak ada yang aneh, hanya saja menunya bukan termasuk menu kesukaan ana, bahkan menu itu adalah menu yang tidak ana suka dan ana enggan memakannya. Makanan yang tidak mengenyangkan karena sedikit ukurannya. Ana pun menyantapnya lantaran saking laparnya. Namun pada suapan pertama ana merasa kaget…rasanya?!….iya rasanya! Rasanya aneh sekali menurut ana. Walaupun menu itu adalah menu yang biasa orang memakannya tapi rasanya sangat berbeda sekali, bahkan ana belum pernah merasakannya. Terasa tidak enak di lidah, bahkan hampir tidak memiliki rasa alias tawar! Ana terus terang tidak berani berkata macam-macam tentang makanan penjara khawatir termasuk mencela makanan. Intinya, makanan tersebut adalah makanan yang memiliki cita rasa yang berbeda sekali dengan makanan normal. Ana pun terpaksa memakannya karena lapar dan tidak ada lagi yang bisa dimakan selain itu. Untungnya ana pernah berlatih dan sedikit memiliki kemampuan survival (bertahan diri) karena ana seorang pecinta alam atau pendaki gunung yang wajib memiliki kemampuan untuk survival, sehingga ana dibutuhkan untuk dapat mengkonsumsi segala sesuatu untuk bertahan hidup, seperti meminum air mentah, memakan makanan dalam kondisi apapun (seperti mentah, tidak enak, dll) selama masih layak dimakan dan halal.

Ana berusaha untuk tidak mengeluh dalam kondisi apapun, begitu juga dalam kondisi memakan makanan penjara. Mau tidak mau ana habiskan makanan tersebut, daripada ana sakit dan lemah jika ana tidak memakannya. Ana anggap ini bagian dari survival yang ana pelajari, bedanya ini di dalam ruangan dan bukan di hutan. Memang terasa berat untuk mengunyah makanan tersebut sehingga ana paksa untuk menelannya secara langsung agar tidak berlama-lama menikmati hidangan yang akan ana konsumsi selama beberapa bulan kedepan. Walaupun ana pernah merasakan hidup serba kekurangan dan pernah juga bergaul dengan orang-orang miskin, namun ana belum pernah memakan makanan yang rasanya seperti makanan bui ini. Bahkan mereka yaitu orang-orang miskin masih lebih baik makanannya dari makanan bui ini (sebatas yang ana ketahui, walaupun banyak juga orang miskin yang sama makanannya atau lebih parah).

Menu yang biasa dihidangkan di Rutan tempat ana ditahan adalah nasi yang berasal dari beras yang mutunya paling rendah atau seperti beras raskin. Kalau untuk lauk seperti ikan lele (kecil), atau tahu sepotong, atau tempe sepotong, atau kerupuk 1 buah, atau bakwan 1 buah, atau telur. Adapun untuk sayur seperti kacang panjang, atau sop, atau kangkung, atau mie. Porsi makanan itu sangat sedikit sekali dan tidak mengenyangkan. Ana terima segalanya dan berusaha untuk bersyukur kepada Allah, karena inilah ujian yang sudah Allah tetapkan untuk ana. Ana anggap ini merupakan teguran untuk ana pribadi, mungkin sewaktu diluar ana terlalu banyak lalai akan nikmat Allah atau terlalu banyak kenikmatan yang telah ana peroleh sehingga ana jauh dan lupa dari kesengsaraan yang bisa saja menimpa kita suatu saat nanti. Ana terima ini semua, ana anggap sebagai balasan atas kelalaian ana selama ini, dan ana jadikan hal ini ujian yang dapat menghapus dosa-dosa ana, jika Allah menghendaki.

Ana teringat ketika istri ana datang membesuk ana di Rutan, setelah ana mengalami dan merasakan makanan di penjara. Ana katakan kepada istri ana, “Mungkin dulu abuya pernah mengeluh atau marah jika mama memasak dan menghidangkan makanan yang tidak abuya suka/bukan selera abuya, atau yang kurang enak rasanya. Abuya meminta maaf atau sikap abuya seperti itu. Abuya berjanji kepada mama, mulai saat ini abuya tidak akan pernah mengeluh atau marah terhadap masakan yang mama buat atau hidangkan ke abuya. Dan mama bebas memasak makanan apa saja untuk abuya….semua masakan mama akan abuya terima…” Istri ana pun terharu mendengar penuturan ana seperti itu. Ana pun menyadari kalau memakan makanan buatan keluarga seperti istri atau ibu merupakan suatu kenikmatan yang tiada harganya, walaupun makanan itu bukan selera kita atau tidak enak rasanya, namun makanan itu jauh lebih baik dan lebih berharga dari makanan penjara yang ana rasakan. Apalah artinya makanan enak namun terpisah dari keluarga??…

Banyak sekali para tahanan yang mengeluh soal makanan di Rutan. Setiap hari ada saja keluhan dari mereka, bahkan tidak sedikit yang sampai membawa keributan dengan berbagai macam alasan. Ketika kami sedang makan, seseorang tahanan berkata kepada kami (beliau termasuk teman ana berinisial RO, suku Ambon, tubuhnya dipenuhi tatto, wajahnya seram namun hatinya lembut, dia sudah belasan kali ‘R’, yaitu Residivis/mantan narapidana, dan sebagian besar hidupnya dihabiskan di penjara), beliau berkata, “Kalian masih beruntung memakan makanan di Rutan ini. Nanti jika kalian sudah dipindahkan ke Lapas (LP/Lembaga Pemasyarakatan), kalian akan lebih kaget lagi melihat makanan disana. Makanan di Rutan ini masih jauh sangat baik dibandingkan dengan makanan di Lapas, karena makanan di Lapas adalah makanan terburuk yang pernah kalian lihat! Kalian akan memakan makanan tanpa rasa, adapun makanan disini masih ada rasanya walaupun sedikit. Kalian akan memakan makanan serba mentah, adapun disini masih matang. Nasi disini masih sangat baik jika dibandingkan dengan nasi disana, seperti makanan ternak. Sayurnya juga, disana tidak ada sayuran yang dikupas kulitnya, tidak juga dicuci bersih, bahkan dimasak bersama akar-akarnya. Lauknya juga, masih dalam keadaan mentah, seandainya dimasak atau digoreng, hanya dicelupkan saja. Rasakanlah nanti….banyak tahanan yang tidak sanggup memakannya, bahkan mereka akan menangis jika melihatnya. Ada juga yang seminggu tidak sanggup memakannya…dan banyak lagi.

Perkataannya sangat menakuti kami khususnya para tahanan yang belum pernah merasakan makanan di Lapas. Nafsu makan kami jadi hilang seketika karena ceritanya. Ana berharap cerita itu tidak menjadi kenyataan atas diri ana. Semoga ana tidak mengalami seperti yang dialaminya, atau Lapas yang akan ana datangi kelak berbeda dengan Lapasnya, lebih baik dari Lapas yang lain. Tapi itu hanyalah angan-angan belaka, karena apa yang teman ana ceritakan menjadi kenyataan atas diri ana. Makanan Lapas adalah salah satu mimpi buruk setiap tahanan atau narapidana, dan termasuk dalam daftar tambahan mimpi buruk mereka. Pengalaman yang begitu berharga sekali bagi ana dapat merasakan makanan di Lapas. Sesuai dengan cerita teman ana…

Ketika ana di Lapas, ana dapati makanan disana sesuai dengan apa yang teman ana ceritakan. Rasa makanan yang tidak wajar bagi kami, nasi yang bukan berwarna putih melainkan berwarna abu-abu karena banyak kotorannya seperti batu, gabah, dan lainnya, bahkan setiap sesuap nasi akan didapati batu atau gabah di dalamnya. Menurut teman ana yang pernah mengkonsumsi nasi raskin mengatakan bahwa nasi raskin masih lebih baik dari nasi di Lapas. Adapun lauknya adalah telur atau tempe, atau ikan/ikan asin, atau lemak/tetelan, dan lainnya. Kebanyakan lauknya disediakan masih dalam keadaan mentah, seperti tempe yang digoreng hanya dicelup saja kemudian diangkat sehingga kondisinya masih sangat mentah. Begitu juga halnya dengan ikan, masih tercium bau amisnya, dagingnya terasa lunak basah karena tidak matang, bahkan ketika ana makan, isi perutnya masih tersedia dan tidak dibersihkan, masih lengkap dengan usus-ususnya dan kotorannya. Adapun telur rebus, jika orang tersebut belum beruntung, ketika ia buka telur tersebut maka ia akan mendapati telur dalam keadaan busuk dan bau menyengat, sehingga ia terpaksa makan tanpa lauk pada hari itu. Pernah juga menemukan telur rebus yang ketika dibuka dalamnya sudah hampir menjadi embrio ayam. Adakah yang mampu memakannya? Sedangkan sayur beraneka macam kondisinya, tidak semua dikupas kulitnya, dan dimasak bersama kulit langsung, seperti wortel, kentang, dan lainnya. Ada juga yang sama akar-akarnya. Ana tidak tahu apakah juru masaknya lupa membuang akarnya atau memang disengaja? Jika lupa lantas kenapa ini berlangsung seterusnya? Seperti sayur kacang panjang, dipotongnya juga panjang-panjang sesuai dengan namanya, dengan panjang sekitar sejengkal, terpaksa kami potong sendiri supaya tidak ‘kelolokan’. Mayat ulat mengambang di sayur adalah pemandangan yang biasa, jadi tidak perlu merasa aneh sendiri atau manja. Belum lagi box makanannya yang kotor, bau dan tidak pernah dicuci bersih selamanya, dicucinya hanya dicelupkan saja di air cucian yang sudah kotor. Namun semua itu terpaksa kami makan, karena tidak ada lagi selain itu yang bisa kami makan. Kecuali jika ia memiliki uang, ia bisa membeli atau menitip makanan di kantin atau diluar dengan harga yang mahal. Tapi darimana bisa mendapatkan uang di dalam penjara kalau bukan dari orang yang peduli kepada kita seperti keluarga atau saudara? Bagaimana jika tidak memiliki keluarga atau orang yang peduli dan mau membantu? Dia tidak akan bisa memiliki uang sama sekali. Uang di dalam penjara termasuk barang langka. Uang seribu rupiah begitu sangat berharga di dalam penjara, karena tidak sedikit terjadi pertengkaran dan perkelahian hanya karena uang seribu rupiah. Begitu juga dengan sebungkus mie instant yang termasuk barang berharga di dalam penjara.

Ketika di Rutan, kami tidak diperbolehkan memegang uang sama sekali. Jadi kami hanya memakan makanan yang disediakan di Rutan atau kami mengandalkan dari besukan keluarga yang datang membesuk kami dan membawakan makanan untuk kami. Namun jangan harap anda bisa memakan makanan besukan keluarga kalian jika kalian memiliki KM (Kepala Kamar) yang zhalim. Awal-awal ana di Rutan, ana memiliki KM yang zhalim terhadap kami. Setiap ada keluarga yang datang membesuk kami dan membawakan makanan untuk kami dilarang kami menyentuh makanan tersebut padahal itu hak kami dan dari keluarga kami. Makanan tersebut mutlak jadi hak KM, dan dia bebas mengambil dan memakannya tanpa memberikannya ke kami, kecuali jika dia menghendaki untuk menyisakannya sedikit untuk kami. Memang KM kami adalah orang yang sangat rakus terhadap makanan, dia merampas setiap makanan anak buahnya seolah-olah itu adalah haknya. Ana enggan melawannya dikarenakan dia adalah pemimpin kami walaupun dia zhalim. Ana mencoba untuk bersabar terhadapnya, mudah-mudahan dengan kesabaran Allah menggantikannya dengan yang lebih baik. Setiap keluarga ana datang membawakan makanan, langsung dirampas olehnya, dan ana hanya disisakan sedikit olehnya, padahal ana sangat ingin merasakan pemberian dari keluarga ana sendiri. Tidak masalah bagi ana, apalagi itu hanya masalah perut yang tidak pantas diributkan atau dipermasalahkan.

Namun ada yang ana kagum di penjara ini perihal soal makanan, yaitu memiliki kebersamaan yang tinggi walaupun ada juga sebagian yang tidak. Salah satunya adalah, ketika ada makanan besukan datang, maka makanan itu dibagi rata untuk seluruh penghuni kamar, selama KM-nya adil dan tidak zhalim. Sering terjadi sepotong paha ayam dibagi rata menjadi 15 bagian, karena waktu itu penghuni kamarnya ada 15 orang. Jika penghuninya 20 orang maka paha ayam tersebut tetap akan dibagi menjadi 20 bagian. Tahukah jadi sebesar apa paha ayam itu pada tiap-tiap bagian? hanya sebesar kuku! Namun tetap mereka makan dan rasakan walaupun hanya sebesar kuku dan tidak mengenyangkan, yang penting adalah kebersamaan. Begitu juga dengan yang lainnya, nasi bungkus ukuran seporsi dibagi menjadi 15 bagian atau dimakan 10 orang, sebungkus mie instant dimakan 6 orang atau dibagi 15 orang, secangkir kopi diminum oleh 10 orang berganti-gantian, dan banyak lagi lainnya. Ada pemandangan menarik lainnya, ada seseorang dikasih sepotong gorengan atau bakwan. Kebetulan orang tersebut sedang duduk bersama kawan-kawannya. Merasa dikasih sepotong bakwan, maka dia berkewajiban untuk membagi kawan-kawannya tersebut. Dia pun akhirnya membagi sepotong bakwan itu menjadi beberapa bagian dan memberikannya ke kawan-kawannya. Bakwan yang didapat kawannya hanya sedikit karena sudah dibagi banyak, namun karena kawannya itu punya kawan juga, maka dia akhirnya membagi bakwan miliknya itu yang tinggal sedikit menjadi 2 bagian, yang 1 bagian untuk kawannya dan yang 1 bagian lagi untuknya, hingga akhirnya bakwan yang tersisa hanya seujung kelingking, tapi tetap dimakan olehnya. Pemandangan yang membuat ana terkesan di penjara ini…

Kejadian lainnya adalah, Alhamdulillah ada beberapa tahanan yang terbiasa melakukan puasa sunnah (senin kamis). Cara sahurnya begitu unik sekali. Perlu diketahui bahwasanya makanan penjara adalah makanan yang tidak mengenyangkan, namun mereka (orang yang berpuasa) ketika mau berpuasa esok harinya, dia hanya memakan setengah porsi dari makan malamnya, adapun yang setengahnya dia sisakan untuk sahur paginya. Padahal jika dia makan makanan seluruhnya tidak akan mengenyangkannya, namun dia memaksa untuk menyisakannya agar dia bisa sahur esok harinya. Namun apa yang terjadi ketika tiba waktu sahur? Ketika dia akan memakan sisa makanannya untuk sahur, dia dapati makanannya sudah basi! Nasinya sudah berlendir, dan sayurnya juga sudah basi tidak dapat dimakan. Dia coba mengakali agar tetap bisa memakannya. Caranya, dia membuang air pada sayur yang basi tersebut hingga tersisa sayurannya saja, kemudian sayurannya itu disiram air panas lalu dicampur ke nasi, sehingga jadi lebih baik dari sebelumnya. Tidak sampai disitu, mereka mendatangi tumpukan box makanan bekas makan malam orang-orang semalam. Mereka buka satu persatu box makanan tersebut dengan harapan mereka menemukan bekas makanan orang-orang yang masih tersisa. Iya masih ada beberapa butir nasi atau sesuap nasi di dalam box tersebut. Mereka pun mengambilnya dan mengumpulkannya hingga terkumpul nasi yang cukup untuk mereka makan sahur. Begitulah yang mereka lakukan setiap mereka sahur dan berpuasa.

Itulah sedikit pengalaman ana ketika makan makanan penjara atau yang biasa disebut ‘Nasi Cadong’. Nasi Cadong adalah istilah dari makanan penjara yang sudah populer dikalangan para tahanan atau para ‘R’ (Residivis). Nasi cadong sangat dihinakan oleh mereka-mereka yang memiliki kemampuan harta. Mereka tidak mau memakannya, karena mereka mampu untuk membeli makanan dari luar dengan harta-harta mereka, padahal makanan luar sangat mahal harganya di dalam penjara dan tergolong barang mewah. Tapi tidak untuk kami yang mencoba dan berusaha untuk bersyukur dan mencukupi atas ujian ini. Kami sudah terbiasa makan nasi cadong dengan segala kondisi, anggaplah itu sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas apa yang pernah kita dapatkan dulu ketika kita diatas kenikmatan. Jika kita tidak diberikan ujian seperti itu, maka belum tentu kita bisa atau mampu bersyukur terhadap nikmat-nikmat Allah selama ini. Wallahu a’lam.

Masih banyak cerita tentang nasi cadong di dalam penjara, namun untuk saat ini ana cukupkan sampai disini saja, karena masih banyak yang ingin ana bahas disini selainnya. Seperti masalah yang akan ana bahas berikutnya yaitu masalah tidur di penjara. Ketika ana di penjara, ada beberapa pilihan untuk tidur, diantaranya: tidur berdiri sampai pagi, tidur jongkok sampai pagi, tidur press (lebar 1 meter diisi oleh 5 orang dengan posisi badan miring dan rapat), tidur duduk diatas botol, tidur di kamar mandi, tidur dilantai berbulan-bulan, tidur diatas tripleks, atau tidur diatas kasur? manakah yang akan ana pilih dan ana rasakan?

Bersambung Insya Allah













0 komentar:

Posting Komentar