Minggu, 24 Maret 2013

Filled Under:

Jejak Penaklukan Irak


Khalid bin Walid

Upaya Pembunuhan Terhadap Panglima Khalid
Setelah selesai berunding dengan sisa-sisa pengikut Musailamah al-Kadzdzab dan mereka pun kembali kepada Islam yang haq, selesailah peperangan di Yamamah. Korban yang berjatuhan di kedua belah pihak cukup besar. Pengikut Musailamah al-Kadzdzab yang tewas tidak kurang dari 14.000 orang, sedangkan pasukan muslimin yang gugur sekitar enam ratus orang.

Situasi perang masih menyelimuti Yamamah. Suatu hari setelah sisa-sisa bani Hanifah sepakat untuk berbaiat, salah seorang pemuka mereka, Salamah bin ‘Umair meminta izin kepada Majja’ah agar dapat menemui Panglima Khalid radhiyallahu ‘anhu. Majja’ah mengizinkan. Tanpa setahu mereka, Salamah menyelipkan pedang di balik bajunya lalu berangkat menemui Khalid. “Siapa yang datang ini?” tanya Khalid, naluri prajuritnya menggetarkan adanya bahaya. “Ia ingin berbicara dengan Anda,” kata Majja’ah, “Dan sudah saya izinkan.” “Keluarkanlah dia dari sini!” perintah Panglima, seakan-akan tahu maksud kedatangan Salamah.

Dengan segera orang-orang yang menemaninya membawa Salamah bin  ‘Umair keluar sambil menggeledah tubuhnya, ternyata di balik bajunya terdapat sebilah pedang. Mereka mencacinya bahkan mengutuknya, “Kau mau membantai kaummu sendiri? Kalau Panglima Khalid tahu kau membawa senjata, pasti sisa-sisa bani Hanifah ini akan dibantai, anak-anak dan kaum wanita akan dijadikan tawanan? Kau senang dengan tindakanmu ini?” Akhirnya, mereka mengikatnya dan memenjarakannya di dalam benteng.

Salamah berjanji tidak akan melakukan yang membahayakan lagi, dan meminta agar mereka melepaskannya. Tetapi, mereka belum mau percaya dengan katakatanya. Mereka masih mengkhawatirkan kebodohannya akan mendorongnya melakukan tindakan nekat. Ternyata benar. Malam harinya, Salamah melarikan diri dan menerobos pasukan penjaga Panglima. Para pengawal pun ribut, dan tentu saja orang-orang bani Hanifah menjadi geger. Mereka segera mengejar dan menangkap Salamah. Begitu tertangkap, mereka segera membunuh Salamah dengan pedang mereka sendiri.


Khalid Menikahi Putri Majja’ah
Telah diceritakan sebelumnya bahwa Khalid menikahi Ummu Tamim, istri Malik bin Nuwairah, setelah membunuh Malik. Khalid kemudian dipanggil oleh Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mendapat teguran yang sangat keras. Sekarang, setelah kemenangan kaum muslimin di Yamamah, Khalid melamar putri Majja’ah yang baru berusia belasan tahun, “Nikahkan saya dengan putrimu.” Mulanya, Majja’ah menolak. Panglima Khalid kembali mengulangi permintaannya, “Nikahkan saya dengan putrimu.”

Akhirnya, Majja’ah menikahkan putrinya dengan Panglima Khalid. Berita ini gaungnya sampai juga ke telinga Khalifah ash-Shiddiq. Beberapa utusan yang dikirim oleh Panglima Khalid, dipimpin oleh Abu Khaitsamah, termasuk sebagian bekas pengikut Musailamah yang telah kembali kepada Islam, menceritakan keadaan di Yamamah. Begitu mengetahui tindakan Panglima yang menikah dengan putri Majja’ah dan perdamaian yang dilakukannya, Khalifah Abu Bakr segera menulis surat teguran untuk Khalid: “Demi Allah, hai putra ibu Khalid, kamu betul-betul telah berbuat siasia. Kamu menikahi seorang perawan sementara di pelataran rumahmu masih tergenang darah 1.200 kaum muslimin? Kemudian kamu berhasil dikelabui oleh Majja’ah sehingga ia berdamai denganmu padahal Allah Subhanahu wata’ala telah mengalahkan mereka?

Segera saja Khalid mengirim surat balasan di antaranya sebagai penjelasan terhadap tindakan yang dilakukannya. Surat itu dititipkannya bersama Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu.

… Amma ba’du.

Demi Allah, saya tidak menikahi seorang wanita kecuali betul-betul dalam keadaan senang dan aman. Saya tidak menikah kecuali dengan putri seseorang yang seandainya saya melamar di Madinah, saya tidak dipedulikan. Biarkanlah saya melamarnya sendiri. Kalau Anda tidak menyukai hal ini karena urusan agama atau dunia, saya memaafkan Anda. Adapun kesedihan saya terhadap kaum muslimin yang gugur, maka demi Allah, seandainya kesedihan saya dapat membuat yang hidup itu tetap hidup atau dapat mengembalikan yang sudah mati, pasti kesedihan itu sudah membuat yang hidup tetap hidup dan yang mati bangkit kembali. Saya sudah berusaha mencari syahadah, hingga putus asa untuk tetap hidup.

Kemudian, tindakan Majja’ah mengecoh pendapat saya, sebetulnya tidak. Saya merasa yakin pendapat saya tidak keliru. Saya juga tidak mengetahui perkara gaib. Di sisi lain, Allah Subhanahu wata’ala telah memberi kebaikan bagi kaum muslimin. Dia mewariskan tanah Yamamah kepada kaum muslimin, dan kesudahan itu adalah untuk orang-orang yang bertakwa.”

Setelah membaca surat itu, hati Khalifah ash-Shiddiq menjadi lembut, beliau pun menerima alasan Si Pedang Allah itu . Mengetahui hal itu, beberapa tokoh Quraisy lain tergerak memberikan alasan membela Khalid, termasuk Abu Barzah al-Aslami, kata beliau, “Wahai Khalifah Rasulillah, Khalid itu bukanlah seorang pengecut dan pengkhianat. Dia sudah mati-matian berusaha untuk mati sebagai syahid, tetapi gagal. Dia tetap bertahan sampai akhirnya diberi kemenangan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Khalid tidak berdamai dengan mereka kecuali dengan sukarela dan pendapatnya tidak salah ketika berdamai, karena dia mengira kaum wanita yang dilihatnya di atas benteng adalah pasukan musuh.” “Kau benar,” kata ash-Shiddiq, “Alasanmu ini lebih bagus daripada yang ditulis Khalid.

Dari sini, jelaslah bahwa pembelaan Khalid terhadap dirinya bukan tanpa alasan. Dapat pula ditambahkan beberapa hal yang menunjukkan keutamaan Khalid, sebagai berikut.

1. Pernikahan Khalid ini terjadi setelah keadaan benar-benar aman dan tenang.

2. Dia menikah dengan putri seorang pemuka masyarakat.

3. Pernikahan itu tanpa ada upaya yang menyusahkan dirinya dan yang lain.

4. Pernikahan itu terjadi tanpa ada sesuatu yang menyelisihi agama ataupun dunia.

5. Jihad yang dilakukannya bukan karena urusan dunia, tetapi mencari syahadah karena Allah 
Subhanahu wata’ala .

6. Khalid mengikat hubungan keluarga dengan Majja’ah karena kagum melihat pembelaan Majja’ah terhadap kaumnya.

Keberanian Khalid tidak pernah disangsikan. Dalam setiap pertempuran, dia selalu di barisan terdepan, walaupun sebagai panglima. Pernah, dalam sebuah pertempuran, Khalid menerjang musuh bersama kudanya. Beberapa prajurit muslim berteriak mengingatkan, “(Ingatlah) Allah, (ingatlah) Allah. Anda adalah pemimpin kaum muslimin. Tidak pantas Anda maju seperti ini!” Akan tetapi, Khalid adalah Khalid, “Demi Allah, saya tahu apa yang kalian katakan, tetapi saya tidak dapat menahan diri, khawatir kaum muslimin kalah.”

Bahkan seperti telah diceritakan, dalam Perang Yamamah ini, Khalid sendiri maju menantang duel satu lawan satu dengan pihak musuh. Begitu pula ketika terjadi pertempuran di kebun “maut”, Khalid sempat bertarung dengan salah seorang pengikut Musailamah al- Kadzdzab. Ternyata lawannya adalah seorang ahli berkuda juga. Setelah bertarung beberapa saat, keduanya terjatuh dari kuda masing-masing. Lawan Khalid segera menerkam. Keduanya bergumul di atas pasir. Khalid segera mengeluarkan belatinya menikam lawannya. Tetapi orang itu cukup tangkas, dia berhasil pula menusuk Khalid hingga luka tujuh tusukan.

Akhirnya, Khalid tergeletak karena luka-lukanya sambil berusaha bangkit, sedangkan lawannya itu sudah mati lebih dahulu.


Persiapan
Setelah Islam semakin kuat di Yamamah, keadaan pun aman dan tenang. Kabilah-kabilah Arab semakin yakin dengan kekuatan kaum muslimin. Untuk sementara, Khalifah merasa tenang, karena sudah tidak ada lagi kemungkinan serangan dari orang-orang Arab yang ingin memberontak.

Khalifah mulai mengarahkan pandangannya jauh ke depan. Terkenang dengan sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya. Dahulu, ketika bersama-sama memecah batu, menggali parit Khandaq, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah mengatakan bahwa beliau melihat Kerajaan Persia, dan kekayaan negeri itu akan jatuh ke tangan kaum muslimin lalu digunakan untuk jalan Allah Subhanahu wata’ala. Khalifah ingin mewujudkannya, dan agaknya saatnya telah tiba.

Khalifah segera mengirim surat kepada Panglima Khalid memberi perintah agar membawa pasukan muslimin menuju Irak, dimulai dari Ubullah yang terletak di tepi sungai Tigris (Dijlah). Khalifah mengingatkan agar tetap mengajak manusia kembali kepada Allah Subhanahu wata’ala, atau membayar jizyah, atau perang. Khalifah juga mengingatkan agar tidak memaksa kaum muslimin untuk ikut dan tidak meminta bantuan kepada mereka yang pernah murtad dari Islam walaupun sudah kembali.

Sebagian ahli sejarah ada yang mengatakan bahwa Khalid berangkat setelah pulang ke Madinah. Tetapi yang masyhur adalah bahwa beliau berangkat langsung dari Yamamah.

Wallahu a’lam.

Khalifah juga mengirim surat kepada ‘Iyadh bin Ghunm yang telah berhasil menaklukkan Daumatil Jandal agar bergerak menuju Irak. Kepada Khalid dan ‘Iyadh, Khalifah ash-Shiddiq menegaskan bahwa siapa saja di antara mereka yang lebih dahulu sampai di Irak, dialah yang memimpin seluruh pasukan. Dengan kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala, Khalid dan pasukannya lebih dahulu tiba di Irak. Sementara itu, al-Mutsanna bin Haritsah yang memperoleh kemenangan dalam peperangan di Bahrain meminta izin kepada Khalifah agar ikut memerangi Irak.
Khalifah pun mengizinkan, maka berangkatlah al-Mutsanna dengan kekuatan 8.000 orang menyusul pasukan Khalid bin al-Walid. Setelah bertemu dengan seluruh pasukan, segera Panglima memecah pasukannya menjadi tiga kelompok, masing-masing menempuh jalan yang berbeda. Kelompok pertama, dipimpin oleh al-Mutsanna dengan Zhufar sebagai penunjuk jalan, berangkat dua hari sebelum Khalid bertolak. Kelompok kedua, ‘Adi bin Hatim dan ‘Isham bin ‘Amr, dengan penunjuk jalan masing-masing Malik bin ‘Abbad dan Salim bin Nashr, salah satu dari kedua kelompok ini mendahului yang lain satu hari sebelumnya. Setelah itu, Khalid dan pasukannya mulai bergerak dengan penunjuk jalan Rafi’. Khalid menjanjikan akan bertemu mereka di al-Hafir.


Memasuki Wilayah Persia
Farjul Hindi adalah tapal batas Persia yang sangat kuat. Pemimpin mereka, Hurmuz selalu menyerang bangsa Arab di daratan dan menyerang Hindia di lautan. Sesampainya di wilayah Persia itu, Panglima memulai gerakan militernya dengan mengirim surat kepada seluruh pembesar Kerajaan Persia, termasuk para gubernur di wilayah Irak.

Isi surat itu tidak hanya seruan dakwah kepada Islam, melainkan juga menampilkan sikap kepahlawanan barisan muslimin, bahwa yang mereka cari hanya dua, kemenangan atau mati syahid. “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid Ibnu Walid kepada para pembesar Persia. Keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk.

Amma ba’du.

Segala puji kepunyaan Allah Subhanahu wata’ala yang telah memorakporandakan kaki tangan kalian, merenggut kerajaan kalian, serta melemahkan tipu daya kalian. Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menghadap kiblat kami, jadilah ia seorang muslim. Ia akan mendapatkan hak seperti yang kami dapatkan, dan ia mempunyai kewajiban seperti kewajiban kami. Bila telah sampai kepada kalian surat ini, maka hendaklah kalian kirimkan kepadaku jaminan, dan terimalah perlindungan dariku. Kalau tidak, maka demi Allah Subhanahu wata’ala yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, akan kukirimkan kepada kalian satu kaum yang mencintai kematian, seperti kalianyang masih sangat mencintai hidup…!”

Para pembesar yang menerima surat tersebut terheran-heran melihat keberanian dan seruan Khalid. Tetapi, kesombongan telah menutupi mata dan hati mereka. Hurmuz yang menerima surat itu segera mengirimkannya kepada Syira bin Kisra dan Azdasyir bin Syira. Hurmuz segera mengumpulkan kekuatan dan segera bertolak menuju Kazhimah.

Masing-masing sayap pasukan itu dipimpin oleh Qabbadz dan Anusyjan, dari keluarga kerajaan. Hurmuz sendiri adalah seorang pembesar yang paling bengis dan cerdik, serta paling kafir. Kedudukannya cukup tinggi, dan ini diketahui dari mahkota yang dikenakannya. Semakin mahal perhiasan mahkota tersebut, semakin tinggi pula kedudukan pemiliknya. Mahkota Hurmuz ditaksir seharga seratus ribu (dinar). (Insya Allah bersambung).






0 komentar:

Posting Komentar