Alhamdulillah wash sholaatu was
salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Kebanyakan buku atau kitab yang
menjelaskan hal-hal yang mesti dilakukan ketika menyambut sang buah
hati adalah amalan satu ini yaitu adzan dan iqomah di telinga bayi
yang baru lahir. Bahkan bukan penulis-
penulis kecil saja,
ulama-ulama hebat pun menganjurkan hal ini sebagaimana yang akan kami
paparkan.
Namun, tentu saja dalam permasalahan
ini yang jadi pegangan dalam beragama adalah bukan perkataan si A atau si B. Yang seharusnya yang
jadi rujukan setiap muslim adalah Al Qur’an dan hadits yang
shohih.
Boleh kita berpegang dengan pendapat salah satu ulama, namun
jika bertentangan dengan Al Qur’an atau
menggunakan hadits yang
lemah, maka pendapat mereka tidaklah layak kita ikuti. Itulah yang
akan kami
tinjau pada pembahasan kali ini. Apakah benar adzan atau
iqomah pada bayi yang baru lahir disyari’atkan
(disunnahkan)? Kami
akan berusaha meninjau dari pendapat para Imam Madzhab, lalu kami
akan tinjau
dalil yang mereka gunakan. Agar tidak berpanjang lebar
dalam muqodimah, silakan simak pembahasan
berikut ini.
Para ulama Hambali hanya menyebutkan
permasalahan adzan di telinga bayi saja.
Para ulama Hanafiyah
menukil perkataan Imam Asy Syafi’i dan mereka tidak menganggap
mustahil perkataannya (maksudnya: tidak menolak
perkataan Imam Asy Syafi’i yang menganjurkan adzan di telinga bayi, pen).
Imam Malik
memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci perbuatan ini,
bahkan
menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya.
Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi’iyah
yang mengatakan bahwa tidak
mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779, pada Bab Adzan,
Wizarotul Awqof Kuwaitiyyah, Asy Syamilah)
Ulama lain yang menganjurkan hal ini
adalah Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnul Qoyyim dalam
Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.
Inilah pendapat para ulama madzhab dan
ulama lainnya. Intinya, ada perselisihan dalam masalah ini. Lalu
manakah pendapat yang kuat?
Tentu saja kita harus kembalikan pada
dalil yaitu perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Itulah sikap seorang
muslim yang benar. Dia selalu mengembalikan suatu perselisihan yang
ada kepada Al
Qu r’an dan As Sunnah sebagaimana hal ini
diperintahkan dalam firman Allah,
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُۦ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tentang sesuatu apapun kamu
berselisih, maka putusannya kepada Allah. (Yang mempunyai
sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku.
Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.”
(QS.
Asy-Syuura : 10)
Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir
rahimahullah, mengatakan, ”Maksudnya adalah (perkara) apa
saja yang
diperselisihkan dan ini mencakup segala macam perkara,
maka putusannya (dikembalikan) pada Allah
yang merupakan hakim dalam
perselisihan ini. (Di mana perselisihan ini) diputuskan dengan
kitab-Nya dan
Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala pada
ayat yang lain,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya).”(QS. An Nisa’ [4] : 59).
Yang (memutuskan demikian) adalah Rabb
kita yaitu hakim
dalam segala perkara. Kepada-Nya lah kita
bertawakkal dan kepada-Nya lah kita mengembalikan segala
urusan.
–Demikianlah perkataan beliau rahimahullah dengan sedikit perubahan
redaksi-.
Dalil Para Ulama
yang Menganjurkan
Hadits
pertama:
Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’,
dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
"Aku telah melihat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga Al
Hasan bin
'Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat".
(HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Hadits kedua:
Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Setiap bayi yang baru lahir, lalu
diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di telinga
kiri,
maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya.”
(Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan
Ibnu Sunny dalam
Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin (perempuan).
Hadits ketiga:
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,
أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى
“Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam adzan di telinga al-Hasan bin 'Ali pada hari beliau dilahirkan
maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di
telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul
Iman)
Untuk memutuskan apakah mengumandangkan
adzan di telinga bayi termasuk anjuran atau tidak, kita harus menilai keshohihan hadits-hadits
di atas terlebih dahulu.
Penilaian Pakar Hadits Mengenai Hadits-hadits Di Atas
Penilaian Pakar Hadits Mengenai Hadits-hadits Di Atas
Penilaian hadits pertama:
Para perowi hadits pertama ada enam,
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِى عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ
yaitu: Musaddad,
Yahya, Sufyan, ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, ‘Ubaidullah bin Abi
Rofi’, dan Abu Rofi’.
Dalam hadits pertama ini, perowi yang
jadi masalah adalah ‘Ashim bin Ubaidillah. Ibnu Hajar menilai ‘Ashim dho’if
(lemah). Begitu pula Adz Dzahabi mengatakan bahwa Ibnu Ma’in mengatakan ‘Ashim dho’if (lemah).
Al Bukhari dan selainnya mengatakan bahwa ‘Ashim adalah munkarul
hadits (sering membawa hadits munkar).
Dari sini nampak dari sisi sanad
terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini sanadnya lemah.
Ringkasnya, hadits ini adalah
hadits yang lemah (hadits dho’if).
Kemudian beberapa ulama menghasankan
hadits ini seperti At-Tirmidzi. Beliau mengatakan bahwa hadits
ini
hasan. Kemungkinan beliau mengangkat hadits ini ke derajat hasan
karena ada beberapa riwayat yang
semakna yang mungkin bisa dijadikan
penguat. Mari kita lihat hadits kedua dan ketiga.
Penilaian hadits kedua:
Para perowi hadits kedua ada lima,
حدثنا جبارة ، حدثنا يحيى بن العلاء ، عن مروان بن سالم ، عن طلحة بن عبيد الله ، عن حسين
yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al
‘Alaa’, Marwan bin Salim, Tholhah bin ‘Ubaidillah, dan Husain.
Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar
dan Adz Dzahabi dho’if (lemah). Yahya bin Al ‘Alaa’
dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta dan Adz Dzahabi
menilainya matruk
(hadits yang diriwayatkannya ditinggalkan).
Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus
ditinggalkan), dituduh lembek dan juga dituduh
dusta.
Syaikh Al
Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321 menilai bahwa Yahya
bin Al ‘Alaa’ dan Marwan bin
Salim adalah dua orang yang
sering memalsukan hadits.
Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits
kedua ini tidak dapat menguatkan hadits pertama karena syarat
hadits
penguat adalah cuma sekedar lemah saja, tidak boleh ada perowi yang
dusta. Jadi, hadits kedua ini
tidak bisa mengangkat derajat hadits
pertama yang dho’if (lemah) menjadi hasan.
Penilaian hadits ketiga:
Para perowi hadits ketiga ada delapan,
وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان ، أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار ، حدثنا محمد بن يونس ، حدثنا الحسن بن عمرو بن سيف السدوسي ، حدثنا القاسم بن مطيب ، عن منصور ابن صفية ، عن أبي معبد ، عن ابن عباس
yaitu: Ali bin Ahmad bin ‘Abdan,
Ahmad bin ‘Ubaid Ash Shofar, Muhammad bin Yunus, Al Hasan bin Amru
bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah,
Abu Ma’bad, dan Ibnu Abbas.
Al Baihaqi sendiri dalam Syu’abul
Iman menilai hadits ini dho’if (lemah). Namun, apakah hadits ini
bisa jadi
penguat hadits pertama tadi? Kita harus melihat perowinya
lagi.
Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al
Hasan bin Amru.
Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no.
538 mengatakan bahwa Bukhari berkata Al Hasan itu
kadzdzab
(pendusta) dan Ar Razi berkata Al Hasan itu matruk (harus
ditinggalkan). Sehingga Al Hafidz
berkesimpulan bahwa Al Hasan ini
matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).
Kalau ada satu perowi yang matruk (yang
harus ditingalkan) maka tidak ada pengaruhnya kualitas perowi
lainnya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan penguat bagi hadits
pertama tadi.
Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga
adalah hadits maudhu’ (palsu) atau mendekati maudhu’.
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa
hadits pertama tadi memang memiliki beberapa penguat, tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut
tidak bisa mengangkatnya dari dho’if (lemah) menjadi hasan. Maka
pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits ini hasan
adalah suatu kekeliruan. Syaikh Al
Albani juga pada awalnya menilai
hadits tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang hasan.
Namun,
akhirnya beliau meralat pendapat beliau ini sebagaimana
beliau katakan dalam Silsilah Adh Dho’ifah no.
321. Jadi
kesimpulannya, hadits yang membicarakan tentang adzan di telinga bayi
adalah hadits yang
lemah sehingga tidak bisa diamalkan.
Seorang ahli hadits Mesir masa kini
yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini hafizhohullah mengatakan,
“Hadits
yang menjelaskan adzan di telinga bayi adalah hadits
yang lemah. Sedangkan suatu amalan secara
sepakat tidak bisa
ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah berusaha mencari dan
membahas hadits
ini, namun belum juga mendapatkan penguatnya
(menjadi hasan).” (Al Insyirah fi Adabin Nikah, hal. 96,
dinukil dari Hadiah Terindah untuk Si Buah Hati, Ustadz Abu Ubaidah,
hal. 22-23)
Penutup
Dalam penutup kali ini, kami ingin
menyampaikan bahwa memang dalam masalah adzan di telinga bayi
terdapat khilaf (perselisihan pendapat). Sebagian ulama menyatakan
dianjurkan dan sebagiannya lagi
mengatakan bahwa amalan ini tidak
ada tuntunannya. Dan setelah membahas penilaian hadits-hadits
tentang dianjurkannya adzan di telinga bayi di atas terlihat bahwa
semua hadits yang ada adalah hadits
yang lemah bahkan maudhu’
(palsu). Kesimpulannya, hadits adzan di telinga bayi tidak bisa
diamalkan
sehingga amalan tersebut tidak dianjurkan.
Jika ada yang mengatakan, “Kami ikut
pendapat ulama yang membolehkan amalan ini.”
Cukup kami sanggah,
“Ingatlah saudaraku, di antara pendapat-pendapat yang ada pasti
hanya satu yang benar. Coba engkau
memperhatikan perkataan para
salaf berikut ini.
Ibnul Qosim mengatakan bahwa beliau mendengar
Malik dan Al Laits berkata tentang masalah perbedaan
pendapat di
antara sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidaklah tepat perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa khilaf
(perbedaan pendapat) boleh-boleh saja (ada kelapangan). Tidaklah
seperti anggapan mereka. Di antara
pendapat-pendapat tadi pasti ada yang keliru dan ada benar.”
Begitu pula Asyhab mengatakan bahwa
Imam Malik ditanya mengenai orang yang mengambil hadits dari
seorang
yang terpercaya dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau ditanya, “Apakah
engkau menganggap
boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat (dalam masalah ijtihadiyah,
pen)?”
Imam Malik lantas menjawab, “Tidak
demikian. Demi Allah, yang diterima hanyalah pendapat yang benar.
Pendapat yang benar hanyalah satu (dari berbagai pendapat ijtihad
yang ada). Apakah mungkin ada dua
pendapat yang saling bertentangan
dikatakan semuanya benar [?] Tidak ada pendapat yang benar melainkan
satu saja.” (Dinukil dari Shohih Fiqh Sunnah, 1/64)”
Demikian suadaraku, penjelasan mengenai
adzan di telinga bayi. Semoga dengan penjelasan pada posting
kali
ini, kaum muslimin mengetahui kekeliruan yang telah berlangsung lama
di tengah-tengah mereka dan
semoga mereka merujuk pada kebenaran.
Semoga tulisan ini dapat memperbaiki kondisi kaum muslimin
saat
ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat. Allahumman fa’ana bimaa ‘allamtana, wa
‘alimna maa
yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Keterangan:
Hadits shohih adalah hadist yang
memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat
hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang
lebih
kuat, dan tidak ada illah (cacat).
Hadits hasan adalah hadits yang
memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi
dhobith
(kuatnya hafalan).
Hadits dho’if (lemah) adalah
hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus,
menyelisihi riwayat yang lebih kuat
(lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
Hadits maudhu’ (palsu) adalah
hadits yang salah satu perowinya dinilai kadzdzib (pendusta) yakni berdusta atas nama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits matruk (yang harus
ditinggalkan) adalah hadits yang salah satu perowinya dituduh kadzib (berdusta).
0 komentar:
Posting Komentar