Sumber fhoto stockvault.net. |
- Apa makna Salaf, Salafi, atau Salafiyyun?
- Ada buku yang pernah saya baca, dikatakan bahwa salaf itu berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah, akan tetapi ada beberapa orang yg saya kenal bermanhaj salaf tapi mereka mudah sekali untuk menyalahkan atau mengatakan bahwa ini bid’ah atau sesat, mereka juga jarang senyum. Padahal kalau yang saya baca Rasulullah itu murah senyum. Bagaimana memaknai salaf dalam hal ini?
Maaf
jika pertanyaan saya ada yg tidak berkenan di hati. Saya bertanya
karena saya baru kenal dengan manhaj Salaf.
Ahmad
Iqbal
Alamat: Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
Email: ahmad.ixxxx@gmail.com
Alamat: Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
Email: ahmad.ixxxx@gmail.com
Salaf
secara
bahasa arab artinya ‘setiap amalan shalih yang telah lalu; segala
sesuatu yang terdahulu; setiap orang yang telah mendahuluimu, yaitu
nenek moyang atau kerabat’ (Lihat Qomus
Al Muhith,
Fairuz Abadi). Secara istilah, yang dimaksud salaf adalah 3 generasi
awal umat Islam yang merupakan generasi terbaik, seperti yang
disebutkan oleh Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam,
“Sebaik-baik
umat adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya”
(HR.
Bukhari-Muslim)
Tiga
generasi yang dimaksud adalah generasi Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam dan
para sahabat, generasi tabi’in dan generasi tabi’ut tabi’in.
Sering disebut juga generasi Salafus
Shalih.
Tidak ada yang meragukan bahwa merekalah orang-orang yang paling
memahami Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam.
Maka bila kita ingin memahami Islam dengan benar, tentunya kita
merujuk pada pemahaman orang-orang yang ada pada 3 generasi tersebut.
Seorang sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu
berkata,
“Seseorang yang mencari teladan, hendaknya ia meneladani para
sahabat Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam karena
mereka adalah orang-orang yang paling mulia hatinya, paling mendalam
ilmunya, paling sedikit takalluf-nya, paling benar bimbingannya,
paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh
Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya, dan untuk menegakkan agamanya.
Kenalilah keutamaan mereka. Ikutilah jalan hidup mereka karena
sungguh mereka berada pada jalan yang lurus.” (Lihat Limaadza
Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot,
Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Kemudian
dalam bahasa arab, ada yang dinamakan dengan isim
nisbah,
yaitu isim (kata benda) yang ditambahkan huruf ‘ya’ yang
di-tasydid
dan
di-kasroh,
untuk menunjukkan penisbatan (penyandaran) terhadap suku, negara
asal, suatu ajaran agama, hasil produksi atau sebuah sifat (Lihat
Mulakhos
Qowaid Al Lughoh Ar Rabiyyah,
Fuad Ni’mah). Misalnya yang sering kita dengar seperti ulama hadits
terkemuka Al-Bukhari, yang merupakan nisbah kepada kota Bukhara (nama
kota di Uzbekistan) karena Imam Al-Bukhari memang berasal dari sana.
Ada juga yang menggunakan istilah Al-Hanafi, berarti menisbahkan diri
pada madzhab Hanafi. Maka dari sini dapat dipahami bahwa Salafi
maksudnya adalah orang-orang yang menisbatkan (menyandarkan) diri
kepada generasi Salafus Shalih. Atau dengan kata lain “Salafi
adalah mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah
shallallahu
’alaihi wa sallam dan
orang-orang yang mengikuti jalan mereka”. (Lihat Kun
Salafiyyan ‘Alal Jaddah,
hal. 10)
Sehingga
dengan penjelasan ini jelaslah bahwa orang yang beragama dengan
mengambil sumber ajaran Islam dari 3 generasi awal umat Islam tadi,
DENGAN SENDIRINYA ia seorang Salafi. Tanpa harus mendaftar, tanpa
berbai’at, tanpa iuran anggota, tanpa kartu anggota, tanpa harus
ikut pengajian tertentu, tanpa harus mengaji pada ustadz tertentu dan
tanpa harus memakai busana khas tertentu. Maka Anda yang sedang
membaca artikel ini pun seorang Salafi bila anda selama ini mencontoh
Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam dan
para sahabatnya dalam beragama.
Jika
pembaca sekalian memahami penjelasan di atas, maka seharusnya telah
jelas bahwa dakwah salafiyyah adalah Islam itu sendiri. Dakwah
Salafiyyah adalah Islam yang hakiki. Mengapa? Karena dari manakah
kita mengambil sumber pemahaman Al Qur’an dan hadits selain dari
para sahabat Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam?
Apakah ada sumber lain yang lebih terpercaya? Apakah Islam dipahami
dengan selera dan pemahaman masing-masing orang? Bahkan jika
seseorang dalam memahami Al Qur’an dan hadits mengambil sumber dari
yang lain, maka dapat dipastikan ia telah mengambil jalan yang salah.
Syaikh Salim Bin ‘Ied Al Hilaly setelah menjelaskan surat An Nisa
ayat 115 berkata, “Dengan ayat ini jelaslah bahwa mengikuti jalan
kaum mu’minin adalah jalan keselamatan. Dan ayat ini dalil bahwa
pemahaman para sahabat mengenai agama Islam adalah hujjah terhadap
pemahaman yang lain. Orang yang mengambil pemahaman selain pemahaman
para sahabat, berarti ia telah mengalami penyimpangan, menapaki jalan
yang sempit lagi menyengsarakan, dan cukup baginya neraka Jahannam
yang merupakan seburuk-buruk tempat tinggal.” (Lihat Limaadza
Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot,
Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Salah
Kaprah Tentang Salafi
Di
tengah masyarakat, banyak sekali beredar syubhat (kerancuan) dan
kalimat-kalimat miring tentang Salafi. Dan ini tidak lepas dari dua
kemungkinan. Sebagaimana dijelaskan Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al
Jabiri ketika ditanya tentang sebuah syubhat, “Kerancuan tentang
Salafi yang berkembang di masyarakat ini tidak lepas dari 2
kemungkinan: Disebabkan ketidak-pahaman atau disebabkan adanya
i’tikad yang buruk. Jika karena tidak paham, maka perkaranya mudah.
Karena seseorang yang tidak paham namun i’tikad baik, jika
dijelaskan padanya kebenaran ia akan menerima, jika telah jelas
baginya kebenaran dengan dalilnya, ia akan menerima. Adapun
kemungkinan yang kedua, pada hakikatnya ini disebabkan oleh fanatik
golongan dan taklid buta, -dan ini yang lebih banyak terjadi- dari
orang-orang ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan pelaku bid’ah yang
mereka memandang bahwa manhaj salaf akan membuka tabir penyimpangan
mereka.” (Ushul
Wa Qowa’id Fii Manhajis Salafi,
Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri )
Dalam
kesempatan kali ini akan kita bahas beberapa kerancuan tersebut.
1.
Salafi Bukanlah Sekte, Aliran, Partai atau Organisasi Massa
Sebagian
orang mengira Salafi adalah sebuah sekte, aliran sebagaimana Jama’ah
Tabligh, Ahmadiyah, Naqsabandiyah, LDII, dll. Atau sebuah organisasi
massa sebagaimana NU, Muhammadiyah, PERSIS, Ikhwanul Muslimin, Hizbut
Tahrir, dll. Ini adalah salah kaprah. Salafi bukanlah sekte, aliran,
partai atau organisasi massa, namun salafi adalah manhaj (metode
beragama), sehingga semua orang di seluruh pelosok dunia di manapun
dan kapanpun adalah seorang salafi jika ia beragama Islam dengan
manhaj salaf tanpa dibatasi keanggotaan.
Sebagian
orang juga mengira dakwah Salafiyyah adalah gerakan yang dicetuskan
dan didirikan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab. Ini pun kesalahan
besar! Dijelaskan oleh Syaikh ‘Ubaid yang ringkasnya, “Dakwah
salafiyyah tidak didirikan oleh seorang manusia pun. Bukan oleh
Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab bersama saudaranya Imam Muhammad Bin
Su’ud, tidak juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
murid-muridnya, bukan pula oleh Imam Mazhab yang empat, bukan pula
oleh salah seorang Tabi’in, bukan pula oleh sahabat, bukan pula
oleh Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam,
dan bukan didirikan oleh seorang Nabi pun. Melainkan dakwah Salafiyah
ini didirikan oleh Allah Ta’ala.
Karena para Nabi dan orang sesudah mereka menyampaikan syariat yang
berasal dari Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan rujukan melainkan
nash dan ijma” (Lihat Ushul
Wa Qowaid Fii Manhajis Salaf)
Oleh
karena itu, dalam dakwah salafiyyah tidak ada ketua umum Salafi,
Salafi Cabang Jogja, Salafi Daerah, Tata tertib Salafi, AD ART
Salafi, Alur Kaderisasi Salafi, dan tidak ada muassis (tokoh pendiri)
Salafi. Tidak ada pendiri Salafi melainkan Allah dan Rasul-Nya, tidak
ada AD-ART Salafi melainkan Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para
sahabat.
2.
Salafi Gemar Mengkafirkan dan Membid’ahkan?
Musuh
utama seorang muslim adalah kekufuran dan kesyirikan, karena tujuan
Allah menciptakan makhluk-Nya agar makhluk-Nya hanya menyembah Allah
semata. Allah Ta’ala
berfirman,
“Sungguh
kesyirikan adalah kezaliman yang paling besar” [QS.
Luqman: 13]. Setelah itu, musuh kedua terbesar seorang muslim adalah
perkara baru dalam agama, disebut juga bid’ah. Karena jika orang
dibiarkan membuat perkara baru dalam beragama, akan hancurlah Islam
karena adanya peraturan, ketentuan, ritual baru yang dibuat oleh
orang-orang belakangan. Padahal Islam telah sempurna tidak butuh
penambahan dan pengurangan. Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap
bid’ah adalah kesesatan” (HR.
Muslim)
Maka
tentu tidak bisa disalahkan ketika ada da’i yang secara intens
mendakwahkan tentang bahaya syirik dan bid’ah, mengenalkan
bentuk-bentuk kesyirikan dan kebid’ahan agar umat terhindar
darinya. Bahkan inilah bentuk sayang dan perhatian terhadap umat.
Kemudian,
para ulama melarang umat Islam untuk sembarang memvonis bid’ah,
sesat apalagi kafir kepada individu tertentu. Karena vonis yang
demikian bukanlah perkara remeh. Diperlukan timbangan Al Qur’an dan
As Sunnah serta memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan
oleh para ulama dalam hal ini. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
berkata, “Dalil-dalil terkadang menunjukkan bahwa perbuatan
tertentu adalah perbuatan kufur, atau perkataan tertentu adalah
perkataan kufur. Namun di sana terdapat faktor yang membuat kita
tidak memberikan vonis kafir kepada individu tertentu (yang
melakukannya). Faktornya banyak, misalnya karena ia tidak tahu, atau
karena ia dikalahkan oleh orang kafir dalam perang.” (Lihat Fitnah
At Takfir,
Muhammad Nashiruddin Al Albani)
Dari
sini jelaslah bahwa menjelaskan perbuatan tertentu adalah perbuatan
kufur bukan berarti memvonis semua pelakunya itu per individu pasti
kafir. Begitu juga menjelaskan kepada masyarakat bahwa perbuatan
tertentu adalah perbuatan bid’ah bukan berarti memvonis pelakunya
pasti ahlul bid’ah. Syaikh Abdul Latif Alu Syaikh menjelaskan:
“Ancaman (dalam dalil-dalil) yang diberikan terhadap perbuatan dosa
besar terkadang tidak bisa menyebabkan pelakunya per individu terkena
ancaman tersebut” (Lihat Ushul
Wa Dhawabith Fi At Takfir,
Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman Alu Syaikh).
Bahkan
Salafiyyin berada dibarisan terdepan dalam membantah paham takfir,
yaitu gemar mengkafirkan secara serampangan.
3.
Salafi Memecah-Belah Ummat?
Untuk
menjelaskan permasalahan ini, perlu pembaca ketahui tentang 3 hal
pokok. Pertama,
perpecahan umat adalah sesuatu yang tercela. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala
yang
artinya, “Berpegang
teguhlah pada tali Allah dan jangan berpecah-belah” (QS.
Al-Imran: 103). Kedua,
perpecahan umat adalah suatu hal yang memang dipastikan terjadi dan
bahkan sudah terjadi. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah
shallallahu
’alaihi wa sallam,
“Umatku
akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk
neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu
ya Rasulullah? Beliau menjawab: yaitu orang-orang yang berada pada
jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini” [HR.
Tirmidzi]. Ketiga,
persatuan Islam bukanlah semata-mata persatuan badan, kumpul bersama,
dengan keadaan aqidah yang berbeda-beda. Mentoleransi segala bentuk
penyimpangan, yang penting masih mengaku Islam. Bukan itu persatuan
Islam yang diharapkan. Perhatikan baik-baik hadits tadi, saat umat
Islam berpecah belah seolah-olah Rasulullah memerintahkan untuk
bersatu pada satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh para sahabat,
inilah manhaj salaf.
Sehingga
ketika ada seorang yang menjelaskan kesalahan-kesalahan dalam
beragama yang dianut sebagian kelompok, aliran, partai atau ormas
Islam, bukanlah upaya untuk memecah belah ummat. Melainkan sebuah
upaya untuk mengajak ummat BERSATU di satu jalan yang disebutkan oleh
Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam tersebut.
Bahkan adanya bermacam aliran, sekte, partai dan ormas Islam itulah
yang menyebabkan perpecahan ummat. Karena mereka tentu akan loyal
kepada tokoh-tokoh mereka masing-masing, loyal kepada peraturan
mereka masing-masing, loyal kepada tradisi mereka masing-masing,
bukan loyal kepada Islam!!
Selain
itu, jika ada saudara kita yang terjerumus dalam kesalahan, siapa
lagi yang hendak mengoreksi kalau bukan kita sesama muslim? Tidak
akan kita temukan orang kuffar yang melakukannya. Dan bukankah
Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda:
“Agama
adalah nasehat” (HR.
Muslim). Dan jika koreksi itu benar, bukankah wajib menerimanya dan
menghempas jauh kesombongan? Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda,
“Kesombongan
itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR.
Muslim)
4.
Salafi Kasar dan Berakhlak Buruk
Manhaj
salaf mengajarkan bahwa setiap muslim wajib berakhlak mulia. Akhlaq
mulia yang paling utama adalah terhadap Allah Ta’ala. Yaitu dengan
menyembah Allah semata dan tidak berbuat kesyirikan serta menjalani
apa yang Ia perintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Kemudian
berakhlak mulia terhadap makhluk Allah. Inilah yang dimaksud dalam
hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”
(HR. Ibnu Abdil Barr dalam At
Tamhid,
24/333. Di shahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah
Ash Shahihah,
45 ).
Manhaj
salaf menghasung ummat agar bergaul dan bermuamalah dengan akhlak
mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam:
“Bertaqwalah
kepada Allah dimanapun engkau berada. Dan kerjakan banyak kebaikan
setelah engkau terjerumus dalam keburukan hingga terhapus dosamu. Dan
bergaullah terhadap manusia dengan akhlak yang baik”
(HR. Tirmidzi, ia berkata: ‘Hadits in hasan’)
Maka
setiap muslim, lebih lagi yang bersemangat untuk berpegang teguh
dengan manhaj salaf, selayaknya berakhlak dengan akhlak yang mulia.
Oleh
karena itu, jika ada sebagian orang yang mengaku berpegang pada
manhaj salaf namun belum berakhlak yang baik, tentu ini tidak dapat
menjadi justifikasi terhadap manhaj salaf. Karena manhaj salaf justru
mengajarkan sebaliknya. Dan kita perlu menyadari bahwa tidak mungkin
kita menuntut semua orang yang berpegang pada manhaj salaf harus
bebas dari kesalahan dan dosa. Setiap kita pasti bisa salah dan lupa.
Bisa jadi karena kejahilan ataupun karena doronganhawa nafsu sehingga
manusia belum dapat berakhlak yang baik. Semoga Allah menolong kita
agar dapat memupuk akhlak yang mulia dalam diri kita. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam pun pernah berdoa:
“Ya
Allah, sebagaimana engkau baguskan rupaku maka baguskanlah akhlakku”
(HR. Al Baihaqi dalam Da’awaat
Al Kabir,
2/82. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih
At Targhib,
2657)
Nasihat
Untuk Ummat
Terakhir,
agama adalah nasehat. Maka penulis menasehati diri sendiri dan kaum
muslimin sekalian untuk menjadi Salafi. Bagaimana caranya? Menjadi
seorang Salafi adalah dengan menjalankan Islam sesuai dengan apa yang
telah dituntunkan Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam dan
dipahami oleh generasi Salafus Shalih. Dan wajib hukumnya bagi setiap
muslim untuk ber-Islam dengan manhaj salaf. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah
berkata: “Para sahabat Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam semua
diampuni oleh Allah. Wajib mengikuti metode beragama para sahabat,
perkataan mereka dan aqidah mereka sebenar-benarnya” (I’lamul
muwaqqi’in,
(120/4), dinukil dari Kun
Salafiyyan ‘Alal Jaddah,
Abdussalam Bin Salim As Suhaimi)
Semoga
Allah
Ta’ala
senantiasa
menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh
oleh orang-orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya orang-orang
yang dimurkai dan orang-orang tersesat.
—
Penulis :
Yulian Purnama
Sumber : ustadzkholid.com
Sumber : ustadzkholid.com
Assalamu'alaikum...Berdasarkan apa antum mengatakan jamaah tabligh sebagai aliran sedangkan nama jamaah tabligh saja sebutan dari orang ramai karena senantiasa mengajak shalat berjamaah dan selalu berjamaah dalam menyampaikan. Dalam kegiatan mereka pun tidak memberikan nama jamaah tabligh.
BalasHapus